Sulit Ditemui Daerah yang Maju dan Berhasil Berkat 'Dinasti Politik'




SUARA PURWAKARTA - Masyarakat diminta untuk kritis terhadap dinasti politik di Pilkada 2024 mendatang. Hal ini diungkapkan pengamat politik dari Universitas Padjajaran Firman Manan. Menurutnya, dinasti politik hanya akan menciptakan korupsi. Bahkan tidak ada daerah yang maju saat politik dinasti berkuasa.

"Di Indonesia saya hampir tidak melihat adanya daerah yang maju karena politik dinasti. Justru yang banyak terjadi adalah ditemukannya banyak kasus korupsi, sehingga daerah itu nggak maju-maju," ujar Firman kepada wartawan, Senin (28/5).

Dalam banyak kasus di Indonesia, kata dia, politik dinasti identik dengan korupsi. Politik dinasti dinilai hanya akan menghambat kemajuan dan pembangunan daerah.

Masyarakat, menurut Firman, sudah melihat kalau praktik dinasti kekuasaan hanya akan menimbulkan banyak masalah terutama korupsi. "Sehingga wajar banyak yang menolak," ujarnya.

Seperti yang diketahui, beberapa daerah melakukan pernah mengalami praktik politik dinasti seperti di Cimahi, Bandung Barat, Kendari (Sulawesi Tenggara) serta saat ini di Purwakarta di mana Dedi Mulyadi maju sebagai cawagub Jabar 2018 dan istrinya maju sebagai calon bupati Purwakarta 2018, jabatan yang pernah diisi oleh Dedi Mulyadi sebelumnya.

Selain praktik korupsi, Firman juga mengingatkan bahwa politik dinasti juga menciptakan ketidaksetaraan dalam berpolitik, karena menutup kesempatan bagi calon kepala daerah yang lain.

Kesempatan dalam mengalokasikan kekuasaan politik menjadi hilang bahkan tidak akan pernah terjadi selama dinasti politik itu berkuasa di suatu daerah.

"Proses rekrutmen jadi tertutup lantaran tidak ada kesetaraan. Kesempatan bagi calon lain menjadi sirna, pendidikan politik juga nggak jalan. Ini muncul lantaran adanya dominasi keluarga dalam politik," ujar Firman.

Dulu, kata Firman, sebenarnya sudah ada aturan UU Pilkada tentang larangan dinasti politik ini. Namun peraturan itu gugur melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi. Akibatnya praktik politik dinasti atau kekuasaan yang turun-temurun kembali marak terjadi.

Apakah perlu aturan lain untuk membatasi praktik dinasti politik, Firman menegaskan sangat diperlukan sebuah sistem guna mengantisipasi praktik politik dinasti ini.

"Problemnya, sekarang ini kita belum punya sistem untuk mengantisipasi itu. Kalau mengingat banyaknya dampak negatif atas politik turun-temurun itu, saya ingin adanya aturan, ada pengawasan," ujarnya.

Aturan itu bisa saja melalui tenggang waktu atau periode kekuasaan bagi penguasa turun-temurun. "Ada periodenya. Ada jeda kekuasannya," tuturnya.

Misalkan satu periode dari petahana. Setelah satu periode kekuasaan, boleh saja keturunannya, atau istrinya, pamannya, atau anggota keluarga lainnya kembali berkuasa.

"Jadi ada satu periode jeda, dimana kekuasaan dipegang bukan oleh keluarga atau dinastinya. Setelah itu, baru bisa pegang lagi, tapi melalui mekanisme pemilihan yang fair, ada kesetaraan berpolitik," tutupnya.


Merdeka

Lebih baru Lebih lama

Before Post

Footer Ads